NELAYAN DALAM WARNA WARNI KEMISKINAN (Fenomena Nelayan 2)
- April 26, 2015
- by
Oleh: AZRANI ERY SAPUTRA
Terus terang sajalah bahwa memang tulisan ini saya dedikasikan untuk para “pahlawan kelautan” yang memang sedang “berulang tahun” pada tanggal enam bulan ini. Suasana ini sepertinya sangat identik dengan gamabaran suka cita yang selalu mewarnai kehidupan seseorang. Dengan mengingat dan mengenang moment tersebut seseorang akan selalu berharap dimasa datang kehidupannya akan menjadi lebih baik dari sekarang. Harapan itu selalu datang tidak hanya dari dirinya namun orang lain (termasuk penulis dalam hal ini) yang mengenal dan sangat terkenang begitu beratnya pengorbanan para nelayan dengan selalu berharap kebaikan yang banyak terhadap mereka, khususnya kebaikan untuk kehidupan nelayan yang lebih layak.
Masih terngiang diingatan kita bahwa salah satu janji pasangan presiden kita sekarang adalah penekanan pada pembangunan sektor kemaritiman sebagai salah satu fokus kerja kabinet mereka, artinya unit terkecil atau mungkin bagian terkecil dari pembangunan sektor tersebut yang harus diperhatikan lebih baik adalah “kesejahteraan para nelayan”, dimana umumnya orang akan mengatakan bahwa para nelayan merupakan komunitas orang-orang dengan mata pencaharian menangkap ikan, yang identik berdomisili di pulau-pulau kecil dan kawasan pesisir serta beraktivitas dilingkup Perairan Laut (Marine Fisheries) dan Perairan Umum (Inland Fisheries). Dengan berdiamnya mereka diwilayah pesisir laut dan sekitar perairan umun seperti danau, waduk, rawa dan sungai, hal itu menjadikan perairan tersebut sebagai ladang penghidupan keluarga mereka.
Data Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (BPS-2013), menunjukkan bahwa jumlah nelayan kita diberbagai wilayah Indonesia dimana sebagian besar nelayan tinggal dan tersebar di 3.216 desa nelayan dimana 2,17 juta penduduknya berprofesi sebagai nelayan, secara geografis tidaklah mengherankan karena negeri ini memang memiliki potensi perikanan yang sangat besar dimana dua per tiga wilayah negeri ini adalah lautan, sementara jumlah kepala rumah tangga nelayan sekitar 1,4 juta (yang bukan kepala rumah tangga mencapai 700 ribu lebih) dari situ dapat dilihat bahwa terdapat 2,2 persen rumah tangga di Indonesia yang memiliki kepala rumah tangga berprofesi yetap sebagai nelayan. Artinya dengan rata-rata jumlah anggota rumah tangga di Indonesia (rata rata empat orang), maka akan ada sekitar 5,6 juta penduduk Indonesia yang kehidupannya bergantung kepada nelayan.
Memperhatikan kembali dengan seksama, bahwa sebenarnya masih banyak manusia Indonesia yang masih “bergantung” kebutuhan pangan dari para nelayan dimana mereka sebenarnya memiliki peran yang sangat substansial dalam modernisasi kehidupan manusia, karena para nelayan termasuk agent of development yang berperan aktif terhadap keberlangsungan hidup perairan laut. Jika dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain yang hidup di pedalaman, pada umumnya sifat para nelayan yang lebih terbuka ini idealnya menjadi stimulator tersendiri bagi mereka untuk menerima perkembangan peradaban yang lebih modern (Sudrajad dalam Musawwir, 2009). Namun seiring perjalanan waktu dan perkembangan modernisasi, kehidupan nelayan pada umumnya justru selalu tertuju dengan minimnya kesejahteraan, keberadaan mereka sebagai agent of development itu ternyata kurang nampak secara signifikan dengan peningkatan taraf kehidupan ekonomi, namun sebaliknya warna warni kemiskinan nelayan menjadi persoalan sosial yang cukup dominan dihadapi di berbagai daerah pesisir dinegeri ini.
Ironis memang bahwa selama ini nelayan selalu dalam keadaan “terbelakang” selalu dalam kondisi butuh “bantuan” hingga mereka umumnya digolongkan dalam masyarakat miskin yang perlu untuk mendapatkan Bantuan Langsung Tunai (BLT), Bantuan Bedah Rumah (BBR) atau mungkin Bantuan Beras untuk orang miskin (Raskin). Padahal kekayaan alam laut Indonesia yang diprediksi tak kurang sebanyak 6 juta ton pertahun itu seyogyanya merekalah para pejuang devisa yang menjadi penyumbang pajak terbesar dinegeri ini, tapi semua berbeda dengan kenyataan yang ada, ada apa ?
Kondisi kaum nelayan yang pada umumnya semakin rentan dengan kemiskinan tersebut dikarena hasil laut semakin berkurang, daya dukung sumber daya alam (perikanan) yang terus menurun sedangkan jumlah para nelayan semakin meningkat, juga perubahan iklim dan gangguan cuaca yang tak menentu, semuanya memberi dampak pada rendahnya tingkat pendapatan, kurangnya keterjangkauan pendidikan anak nelayan, kesehatan yang tidak terperhatikan serta ketahanan pangan keluarga nelayan yang semakin terpuruk.
Beragam pandangan yang muncul terkait mengapa kehidupan para nelayan selalu identik dengan kemiskinan, mulai dari permasalahan minimnya tingkat pendidikan mereka yang berdampak pada ketidak mampuan dalam persaingan dan penerapan teknologi, kondisi alam laut yang terkadang kini menjadi lebih sulit untuk dapat diprediksikan besaran hasil tangkapan, ketika hasil tangkapan ikan banyak didapat,muncul lagi masalah baru, para nelayan sulit memasarkannya. Belum lagi ditambah dengan “budaya” mereka pada umumnya yang boros dan malas (mindset) dan ini diperparah lagi dengan adanya situasi politik yang kadang tak menentu seperti halnya kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang mau tidak mau akan berdampak buruk pada nelayan.
Komplit memang melihat permasalahan para nelayan, di satu sisi mereka di elu elukan sebagai salah satu ujung tombak penghasil sumber pangan terbesar dinegeri ini, namun disisi lain mereka dihadapkan dengan kenyataan bahwa sebagian besar dari mereka “termarginalkan” dari sisi kelayakan hidup. Proyek-proyek besar bantuan pemerintah bukanlah pula tidak bermanfaat untuk mereka, namun yang terjadi pada umumnya “optimalisasi” bantuan tersebut yang terkadang kurang bermakna bagi mereka. Cobalah lihat banyaknya program fisik yang diberikan pada para nelayan entah itu jaring, pompong, peralatan pengolahan perikanan, yang juga terkadang bantuan kapal kapal tangkap diberikan pada nelayan yang alhasil kapal-kapal besar itu mereka berikan kepada pengusaha besar didaerahnya dengan alasan biaya operasional kapal tangkap ukuran besar tersebut tak sanggup dikelola oleh kelompok nelayan yang mendapat bantuan pemerintah, alhasil mereka mengayuh kembali sampan dan pompong kecil yang mereka punya, sementara mesin mesin pengolahan perikanan yang diberikan pemerintah hanya terpajang rapi di dalam kantor penyuluh perikanan.
Melihat fenomena diatas penulis optimis bahwa harapan perubahan bagi “pahlawan laut” itu masih ada dan terbentang. Kurangilah program pemerintah dengan pola-pola lama yang berbentuk bantuan fisik saja. Mulailah fokus dengan membentuk pola pemberdayaan mindset bagi nelayan dan keluarga mereka walau itu butuh waktu yang lama. Dukunglah para penyuluh perikanan dengan memberikan insentif atau mungkin honor yang lebih baik untuk ukuran hidup mereka di pulau pulau dimana para penyuluh perikanan tersebut tinggal dan menetap guna mengarahkan pola pikir para nelayan agar mampu merubah arah hidup keluarga nelayan tersebut untuk lebih baik perekonomiannya, karena penyuluh perikanan ibarat “guru dan pengayom” bagi para keluarga nelayan yang tinggal dipelosok pelosok pesisir. Merekalah yang diharapkan dapat mengubah pemikiran para nelayan dan keluarganya untuk bisa hidup lebih baik dimasa depan.
Untukmu para “para pejuang” laut, dihari jadimu ini penulis mewakili 5,6 juta rakyat Indonesia yang bergantung dengan hasil laut tangkapan mu, selalu berdoa dan berharap agar kalian dapat hidup lebih baik hingga tak terdengar lagi keluh dan kesah semua para nelayan wilayah pesisir negeri ini dengan benturan dan permasalahan perekonomian yang seolah olah semakin sempit melilit kehidupan para nelayan. Tak terlihat lagi para nelayan tertangkap tangan diperbatasan negeri orang karena mungkin adanya ketidak tahuan mereka terhadap batas laut. Namun yang lebih dari itu semua terlepas dari siapapun pemangku kebijakan dipemerintahan sana, hidup ini terus berlalu, momen hari nelayan mu kini menjadi saat dimana para nelayan harus bangkit dari kemiskinan, keterpurukan dan ketertinggalan teknologi. Tidak perlulah kita saling salah menyalahkan lagi, semuanya kini di tangan para nelayan sendiri. Semoga di momen Hari Nelayan ini semua elemen masyarakat yang masih “bergantung” pada para nelayan dapat memberi sumbangsih doa, kemudian harapan dan perhatian serta arahan dari pemangku kebijakan untuk memberikan bantuan pada para nelayan sepenuh hati tanpa ada tendensi apapun, Jayalah nelayanku, sejahteralah negeri ku.
AZRANI ERY SAPUTRA
Penulis adalah Pemerhati Perikanan dan Lingkungan Kelautan dan Exs Penyuluh Perikanan Program COREMAP tahap II Kabupaten Lingga Provinsi Kepri, sekarang aktif di Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Karimun Berdomisili di Tanjung Balai Karimun-Kepri