(Upaya Mengedepankan Demokrasi Kesehatan Guna Meningkatkan
Mutu Pelayanan Kesehatan di Indonesia)
(1). “RSUD VS PUSKESMAS“ Sekelumit Kisah Pembuka Minda.
Sekilas sub judul tulisan diatas terkesan profokatif, tapi saya tidak bermaksud begitu, karena yang saya maksudkan dalam judul tulisan ini ialah perbedaan realita, dimana tugas, pokok dan fungsi (tupoksi) pelayanannya yang berbeda dilapangan. Ternyata besar kecil gedung serta jumlah para awak karyawan yang ada di kedua tempat pelayanan kesehatan masyarakat itu,memiliki perbedaan prinsip dalam melakukan pelayanan. Dari pengalaman saya hal ini nyata tergambar, di puskesmas kampung saya (yang nota bene jumlah personel yang sedikit dan ruangannya yang kecil dibanding RSUD), masyarakat miskin lebih mudah “di terima” apa adanya ketimbang di rumah sakit umum daerah yang berbanding terbalik. Sekelumit kisah berikut akan saya paparkan untuk membuka minda (hati) kita guna menimbang dan mencari strategi serta solusi bagaimana cara yang tepat untuk meningkatkan pelayanan kesehatan di negeri kita ini hingga menjadi lebih baik.
Hal ini juga sebagai salah satu upaya mengedepankan "Demokrasi Kesehatan", yang sebenarnya adalah sebuah gagasan dan pandangan yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban masyarakat serta perlakukan yang adil bagi semua warga negara dalam bidang kesehatan khususnya para pasien sakit yang tidak mampu.
Mari menyimak !.
Kasus pertama, Persitiwa ini terjadi di kampung saya disalah satu kabupaten wilayah Provinsi Kepulauan Riau (tak usah disebutkan kabupaten apa karena rumah sakit umum daerah itu hanya satu, jadi kalau di tulis, pasti si “rumah sakit” kena pukulan telak). Saat itu ada tetangga saya yang mau melahirkan. Malam itu adalah hari dimana dia sudah siap akan melakukan persalinan, sekitar jam 01.00 wib (tengah malam lewat) suaminya mengantarkan si istri untuk bersalin, kebetulan Rumah Sakit Daerah (RSUD) itu terletak tidak jauh dari perkampungan kami (kurang dari 1 km), sehingga wajar bila sang suami mengantarkan langsung ke RSUD tersebut. Karena mereka tergolong dari keluarga kurang mampu, maka si suami/tetangga saya ini membawa SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) dari pihak desa, namun apalah dikata ternyata saat sampai di RSUD di tengah malam buta itu, mereka yang bermaksud minta bantuan untuk melahirkan itu ternyata tidak diterima oleh fihak rumah sakit daerah dengan alasan, SKTM saja tidak bisa digunakan di RSUD itu. Subhanallah¸alangkah kecewanya pasangan itu. Apa hendak di kata, mereka pun pulang dan berangkat menuju ke puskesmas yang jaraknya lebih jauh lagi (kurang lebih 3 km) dari rumah sakit tersebut. Alhamdulillah sampai disana pasutri itu diterima oleh pihak puskesmas dan Subhanalloh anak mereka dapat lahir dengan selamat di puskesmas tersebut.
Nah, melihat sekelumit kisah itu mari sejenak kita berfikir, bahwa sebenarnya untuk jaminan persalinan sekarang, pemerintah pusat lewat Kementrian Kesehatan sudah memilki program JAMPERSAL (Jaminan Persalinan), kok bisa ya rumah sakit se “gede” itu tidak bersedia meneriman pasien persalinan seperti kisah pasutri diatas?, apa mungkin karena mereka orang kecil?. Mari sama-sama kembali kita membuka minda, untuk masalah ini.
Kasus kedua, untuk kisah ini memang nyata terjadi pada istri saya sendiri. Saat itu adalah minggu-minggu terakhir saya menunggu kelahiran anak saya yang ke dua. Seperti pada bulan-bulan sebelumnya sampai saat menjelang persalinan, saya membawa istri ke puskesmas untuk check up kandungan dengan bidan di puskesmas tersebut, karena beberapa bulan kemarin disampaikan oleh dokter yang pernah memeriksa kandungan istri saya, kondisi ari-ari (Placenta) menutupi tempat keluarnya anak. Nah hari itu, sekaligus kami mengurus Jampersal (Jaminan Persalinan). Setelah mempersiapkan segala persyaratan dari puskesmas, kami pun berinisiatif untuk melihat lagi posisi dan kondisi kandungan istri saya, hingga kami di sarankan oleh pihak puskesmas untuk melakukan USG (Ultrasonografi) di RSUD (rumah sakit yang tadi saya kisahkan di atas), karena puskesmas tidak memiliki alat tersebut maka kami pun di rujuk ke sana. Lagi-lagi sesampai di rumah sakit tersebut kami tidak diperbolehkan untuk mendapatkan pelayanan USG dengan fasilitas jampersal. Wah, kenapa kedua pusat pelayanan kesehatan ini bisa berbeda keputusan, fihak Puskesmas mengatakan boleh menggunakan USG dengan fasilitas Jampersal dan fihak Rumah Sakit Daerah mengatakan tidak bisa?, yang lagi-lagi menjadi pertanyaan di benak saya, kenapa bisa berbeda sikap dalam memberi keputusan antara RSUD dengan Puskesmas dalam hal ini?. Bukankah kedua tempat itu sama-sama dibiayai dari kantong pemerintah?.
Yang pasti dua kisah tadi menjadi gambaran bagi kita tentang kurang nya pelayanan kesehatan yang baik bagi masyarakat kecil. Oleh karena itu perlu adanya solusi dalam permasalahan ini.
(2). Strategi "Demokrasi Kesehatan" dalam Pelayanan Kesehatan yang Berbasis Manajemen Empati
a. Manajemen Pelayanan Berbasis Empati.
Empati berasal dari bahasa Yunani yang berarti “ketertarikan fisik”. Sehingga dapat didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengenali, mempersepsi, dan merasakan perasaan orang lain. Manajemen yang saya tawarkan ini sebenarnya adalah buah dari langkah di point Pembinaan dan Pelatihan Mental dan Spiritual diatas. Sehebat apapun dibuatnya pola dan langkah manajemen pelayanan modern diinstansi manapun, jika para karyawan/pegawai sebagai “pelayan kesehatan” ini tidak bekerja dengan hati dan tidak merasakan dengan empati penderitaaan pasien yang mereka hadapi maka hal itu hanya kesia-sian belaka. Oleh karena itu keterkaitan dua komponen diatas perlu dibina dengan lebih baik dan oleh karenanya perlu leader yang tangguh menuju kearah itu.
b. Pembinaan dan Pelatihan Mental Spiritual bagi Karyawan.
Bergesernya “rasa kemanusiaan” dari diri seseorang dizaman serba uang sekarang ini memang menjadi fenomena yang seharusnya tidak lumrah terjadi. Jika yang datang orang yang “ber-mobil”, maka servis menjadi lebih baik, namun hal itu berbalik arah jika yang datang untuk mendapatkan perawatan dari masyarakat kalangan kelas bawah. Untuk itu perlu adanya kegiatan pembinaan kerohanian yang berkelanjutan bagi para karyawan yang bekerja di pusat-pusat pelayanan kesehatan tersebut. Sehingga mereka sadar bahwa tugas mereka adalah pengabdian yang nantinya diharapkan tidak hanya sekedar “upah kerja” namun berujung pada pengabdian dalam bentuk ibadah yang berbuah pada pahala dan berkah. Hal ini butuh tindakan yang berorientasi pada pembinaan jiwa ke seluruh para karyawan yang bekerja baik diseluruh tempat-tempat pelayanan kesehatan.
c. Perlu nya “Leader” Yang Responsif dan Religi.
Leader yang saya maksudkan dalam hal ini adalah semua pemimpin yang mengepalai institusi/pusat-usat kesehatan masyarakat (rumah sakit baik umum dan swasta/puskesmas dll). Untuk pimpinan dilevel ini agar dipilih dengan benar-benar menseleksi empat parameter penilaian yakni SKAR (Skill, Knowlage, Attitude and Relegious). Kepemimpinan itu tidak cukup hanya dengan gelar, latar belakang pendidikan tinggi, strata jabatan dan tua dalam pengalaman, namun hal terpenting dari itu yakni perlu dtunjang dengan jiwa agamais yang sigap dalam merespon “penderitaan” orang lain (dalam hal ini pasien).
Hal ini penting mengingat pemimpin merupakan ujung tombak perubahan bagi bawahannya. Dan karakter pemimpin yang responsif dan religi, sangat berperan dalam membina mental spiritual bawahannya untuk dapat bersikap dan menjalankan Konsep Manajemen Empati dengan baik dalam memberikan pelayanan bagi orang banyak.
Demikian kiranya tulisan ini dibuat, sebagai upaya menggugah cara pandang para “Petugas Kesehatan” bahwa saya, saudara dan kita yang berada dan bekerja dengan dibayar gaji, maka tugas utama kita adalah untuk melayani bukan untuk dilayani. Konsep manajemen sumber daya manusia yang paling tangguh dan mutakhir sekalipun, sulit untuk mengubah mainset seseorang “pekerja” menuju kearah yang lebih baik dalam memberikan pelayanan, jika tidak didukung dengan pembinaan jiwa yang terus menerus dan berkelanjutan hingga akhirnya para karyawan itu dapat mampu bekerja dan melayani masyarakat dengan hati dan empati, sehingga para masyarakat/pasien yang tidak mampu bisa mendapatkan hak dan kewajiban mereka secara adil dan beradap. Insya Alloh, semoga harapan itu terwujud. Aamin.